Arlian Buana C
Beberapa hari ini, ASEAN-China Free Trade Area menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Lantaran implementasinya, per 1 januari 2010. Menjelangnya, timbul banyak kehawatiran di dalam negeri.
Kekhawatiran ini diantaranya karena industri domestik merasa masih belum siap. Pasar nasional akan diserbu barang-barang murah dari china. Sehingga produsen lokal lebih memilih menjadi pedagang tadahan impor dari China, daripada meneruskan produksi yang kalah kompetisi dan merugi. FTA disinyalir akan menyebabkan deindustrialisasi beberapa sektor. Muncul kemudian desakan dari beberapa kalangan terhadap pemerintah untuk menunda pemberlakuannya.
Menunda atau mempersiapkan diri?
Menanggapi ketidaksiapan beberapa sektor industri tersebut, pemerintah sendiri akan mengupayakan negosiasi penguluran tenggat penurunan tarif. Langkah ini dilakukan untuk melindungi industri nasional yang terancam kolaps.
Selain itu, karena pemerintah mensinyalir praktik unfair trade yang dilakukan pihak China. Pemerintah China memberikan potongan 14 persen pajak bagi eksportir besar. Menurut Menteri Perindustrian, discount tersebut merupakan subsidi. Sementara negara kita tidak memberikan subsidi bagi pengusaha. Hal ini akan dijadikan bahan tambahan negosiasi.
Dalam keadaan yang demikian mendesak, pilihan negosiasi modifikasi penurunan tarif ini memang layak dilakukan. Demi melindungi sendi-sendi industri dalam negeri dan menghindari dampak negatif FTA. Tapi sampai kapan kita akan mengulur-ulur waktu?
Seharusnya, persiapan sudah rampung sebelum pemberlakuan perjanjian. Tapi tampaknya, Indonesia memang lamban dalam mempersiapkan diri. Sebagai sebuah negara, kredibilitas Indonesia tentu akan dipertanyakan di panggung internasional.
Jangan sampai pemerintah ketagihan upaya penundaan semacam ini. Globalisasi kembali diisyaratkan dengan FTA. Bahkan ke depannya, globalisasi tidak hanya mengharuskan persaingan antar perusahaan atau sektor-sektor industri. Melainkan juga, individu-individu harus mampu berkompetisi (Thomas L. Friedman: 2005). Mau tidak mau, sebagai bangsa kita harus mempersiapkan diri. Renegosiasi tidak boleh menjadi exuse atas kelambanan kita. Tapi harus memacu langkah selanjutnya.
Pemerintah musti melakukan akselerasi persiapan dengan melibatkan elemen-elemen industri. Agar memperkuat dan mengoptimalkan potensi ekspor dan pasar nasional. Pemerintah harus benar-benar hirau atas keluhan pengusaha selama ini.
Masalah energi, infrastruktur buruk, ekonomi biaya tinggi dan kinerja aparat bea-cukai serta perpajakan merupakan PR bagi pemerintah. Karena harus diakui, masalah-masalah tersebut merupakan hambatan terhadap iklim usaha yang produktif dan kompetitif. Kemudian dengan dorongan fasilitas, prosedur, regulasi yang lebih efisien dan kondusif dari pemerintah, sudah seharusnya para pengusaha menjadi lebih profesional.
Harapannya, industri dalam negeri dapat berbenah diri dan jauh lebih siap menghadapi globalisasi yang kali ini didesakkan FTA. Karena jika tidak, bangsa ini akan digilas zaman. Sanggupkan Indonesia? Kita semua yang akan menjawabnya. Pilihannya adalah menjadi pemain atau penonton di desa global yang akan datang. Dan dalam bahasa selebritas, mau jadi trend setter atau korban mode?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar