Oleh : Andi Dian Roosahandita & Vina Noviana
Perbudakan atau penghambaan di Indonesia agaknya memang sudah ada sejak jaman dulu. Pada jaman raja-raja Jawa, perempuan hanya merupakan pelengkap dari sistem pemerintahan feodal pada masa itu. Seperti yang kita tahu, konsep kekuasaan seorang raja seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang agung dan mulia. Bahkan seorang raja memiliki kekuasaan penuh dan mutlak, salah satunya tercermin dari banyaknya selir yang dimiliki oleh raja. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan, sebagian lagi persembahan raja dari kerajaan lain, namun ada juga yang berasal dari kasta bawah yang “di jual “ atau diserahkan begitu saja kepada raja agar mereka mempunyai ikatan langsung dengan keluarga kerajaan. Jelas sekali pada masa itu perempuan dianggap tak lebih dari sebuah benda yang dapat berpindah tangan sesuka hati pemiliknya.
System feodal ini memang belum menunjukan secara gamblang adanya suatu industri seks pada masa itu, namun secara tidak langsung telah membentuk dasar yang menjadikan wanita sebagai objek “ dagangan” untuk memenuhi nafsu lelaki dan juga sebagai pembuktian adanya kekuasaan dan kekayaan. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang prostitusi terselubung ini malah menjadi semakin terorganisir, para wanita dijadikan pemuas nafsu tentara-tentara, yang habis berperang dan juga para pejabat tinggi pada masa itu, dari sinilah kita mengenal istilah Geisha, sebutan bagi para wanita penghibur pada masa penjajahan Jepang.
Dewasa ini, perbudakan terhadap wanita dan anak telah memasuki fase yang lebih serius. Mereka telah menjadi komoditas yang menguntungkan bagi beberapa pihak, tubuh mereka dijual, tenaga mereka diperas hanya untuk segenggam rupiah. Sungguh sangat ironis. Inilah yang saat ini lebih dikenal dengan perdagangan manusia atau Human Trafficking.
Dalam protocol PBB, PBB mendefinisikan perdagangan manusia salah satunya sebagai berikut :
“ Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengiriman seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebihingan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau member atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan atau pengambilan organ tubuh.”
Dari pengertian tersebut dapat kita pahami bahwa perdagangan manusia, wanita ataupun anak tidak melulu mengenai perdagangan mereka secara fisik, namun juga tenaga mereka. Berikut ini bentuk-bentuk lain dari perdagangan wanita dan anak :
1. Pelacuran dan eksploitasi seksual termasuk eksploitasi seksual terhadap anak( pedofilia)
2. Adopsi anak
3. Pengemis
4. Industri pornografi
5. Penjualan organ tubuh
6. Sebagai penari, pengantin pesanan ( kawin kontrak )
Beberapa bentuk perdagangan manusia itu sebenarnya telah akrab dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia namun banyak yang masih belum menyadari bahwa itu adalah bagian dari bentuk perdagangan manusia. Anak jalanan, orang yang berada di daerah konflik, anak dari keluarga yang terjerat hutang dan orang yang tidak memiliki pemahaman tentang hal ini adalah orang-orang yang paling rentan menjadi korban perdagangan ini.
Mungkin sebagian dari kita akan tergelitik untuk bertanya tentang peranan pemerintah dalam menanggulangi ini semua. Apakah sudah ada langkah konkrit dari pemerintah untuk mengentaskan masalah ini? Sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, sebenarnya perbudakan dan penhambaan telah dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar hokum dan dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan orang, sebagai mana termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 324, pasal 333 ayat 1-4.
Tentang perdagangan wanita dan anak juga telah dikriminalisasikan sebagaimana yang termaktub dalambKitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 297 dan Pasal 65 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
Pasal 297 KUHP: “Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”
Pasal 65 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM: “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya”.
Walaupun telah ada perundang-undangan yang mengatur tentang ini, pemerintah tetap saja mengalami hambatan dalam menegakkan peraturan ini, hambatannya antara lain adalah budaya masyarakat itu sendiri ( Cultural ), kebijakan pemerintah khususnya peraturan perundang-undangan ( Legal Subtance ) dan hambatan yang bersumber dari aparat penegak itu sendiri ( Legal Structure )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar